Sangihe, Liputan15.com – Penetapan tersangka seorang SL alias Steven yang merupakan pejabat di Lingkup Pemda Sangihe beberapa hari yang lalau dalam dugaan kasus kesusilaan dinilai tak memenuhi alat bukti dan saksi.

Tadius Matagang, SH sebagai kuasa Hukum SL menyatakan bahwa Ada adigium hukum berkata “Ignorantia judicis est calanaitax innocentis” – (Ketidaktahuan Penegak Hukum adalah suatu kerugian bagi pihak yang tidak bersalah) bahwa kedudukan alat bukti begitu penting untuk menetapkan sesorang menjadi tersangka.

“Dalam perkara klien saya, ada 2 orang pelapor dengan laporan yang berbeda namun tidak saling ada hubungan peristiwa tempus delictinya sehingga seharusnya di setiap laporan tersebut didasarkan pada permulaan alat bukti minimal 2 alat bukti dan saksi yang masih memiliki relevansi dengan pelaporan tersebut,” katanya.

Lanjutnya, prinsip tersebut terdapat dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), karena tanpa adanya saksi, atau visum et repertum yang ada relevansinya dengan peristiwa yang sangkakan dapat menimbulkan keragu-raguan atau hukum tidak menjadi pasti (beyond a reasonable doubt).

“Penetapan seorang tersangka, adalah didasarkan atas pemeriksaan sejumlah alat bukti, dan keterangan terlapor, gelar perkara, setelah itu munculah penetapan tersangka,” katanya.

Dalam proses penetapan tersangka pun telah ada pra penuntutan oleh jaksa penuntut umum agar semua proses dilalui.

“Dengan demikian, tidak mungkin penetapan tersangka tersebut merupakan kontribusi dari satu alat bukti saja”, imbuhmya.

Dia mengatakan, bahwa hal ini dibeberkan sebagai bagian dari pembelajaran hukum di masyarakat bahwa jangan kita turut menghukum seseorang dengan keragu-raguan terhadap kebenaran atas suatu informasi hukum terhadap seseorang yang tidak berdasar alat bukti.

Pengacara berdara Nusa Utara ini juga mengatakan bahwa kliennya merasa terzolimi dengan berbagai pernyataan spekulasi yang beredar sehingga berdampak pada sangsi sosial bagi istri dan anak-anaknya.

“Klien saya merasa terzolimi dengan peristiwa yang menimpanya oleh oknum-oknum tertentu. Bahwasanya ada pihak-pihak yang ingin membunuh karakter klien saya secara ekstrem karena jabatan klien saya sebagai KABAN Kepegawaian Sangihe mengingat pula tidak lama lagi masa jabatan Bupati kabupaten Sangihe sudah akan berakhir.

bentuk prasangka kognitif negatif terhadapnya yang berdampak hukum dan sosial merupakan gejala yang interen yang mempersilakan aksi pra hukum, atau mengarahkan masyarakat luas untuk prejudiskan diri klien saya,” ujarnya.

Menguraikan bahwa prasangka sosial merupakan gejala yang interen yang mempersilakan aksi pra hukum, atau membuat keputusan-keputusan berlandaskan bukti yang tak cukup.

“Dengan demikian bila seseorang berupaya memahami orang lain dengan patut maka aksi prasangka secara hukum dan sosial bagi dirinya dan keluarganya tak perlu terjadi karena dampak ini begitu terasa sampai kepada anak istrinya yang sepertinya turut terhukum oleh masyarakat luas”, ungkap Matagang.

Matagang juga berharap Penegak Hukum dapat bekerja dengan Profesional dan proposional sebagaimana di atur dalam Pranata hukum negara ini.

“Saya katakan ada tuduhan-tudahan miring terhadap klien saya sebagai bentuk keprihatinan atas informasi yang tidak seperti kenyataan yang beredar bahkan saat ini klien saya ditahan di Polres Sangihe”, tutupnya