LIPUTAN15.COM – Transformasi era kini semakin merajalelanya platform digital, lambat laun bakal mengikis eksistensi media massa konvensional. Sangat terasa akan adanya pergulatan tersebut, tidak bisa dipungkiri, pertarungan media konvensional vs digital menghadirkan duel tak sepadan layaknya David melawan Golioth.

Seperti yang disampaikan Jurnalis senior yang turut membesarkan Media Group, Don Bosco Selamun dalam diskusi Frenemy: Media Massa Konvensional dan Digital, Selasa (5/4/2022) dimana memiliki perumpamaan lain terkait kehadiran platform digital dan kemunduran media konvensional.

“Digital platform ini seperti lubang hitam, yang menghisap semua konten, menghisap semua data, dan menghisap semua iklan. Lalu kemudian tiba-tiba belakangan kita berpikir, kita dapat apa. Iklannya susah, viewership-nya berkurang, readership-nya berkurang. Biaya bahkan lebih mahal,” kata Don Bosco.

Platform digital dalam pengertian ini, adalah mesin pencari seperti Google, Bing dan Baido, hingga media sosial Youtube, Instagram dan Facebook.

Don Bosco menyebutkan bahwa produk berita yang diproduksi perusahaan media berada di dalam platform digital, namun perusahaan media tidak mendapatkan keuntungan dari produk yang mereka buat. Perusahaan media membutuhkan biaya untuk memproduksi berita, tetapi platform digitallah yang saat ini menerima pendapatan dari sirkulasinya.

Dalam diskusi ini bertujuan untuk mengupas buku Dialektika Digital, yang ditulis Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo. Frenemy bermakna friend and enemy, kawan sekaligus musuh dalam satu balutan.

Buku tersebut, kata Agus Sudibyo, mendiskusikan bagaimana nasib media massa konvensional vs digital buah dari transformasi yang mengubah begitu banyak sisi dalam kehidupan masyarakat, termasuk media massa.

“Platform digital ini dalam perkembangannya, tidak hanya berperan sebagai perantara konten, tetapi juga sebagai kurator konten. Tidak hanya berperan sebagai perusahaan teknologi, tetapi juga perusahan media,” ujar Dibyo akrabnya disapa.

Dalam bukunya, Dibyo memaparkan bahwa karena platform digital berperan sebagai penerbit, maka mereka harus mengemban tanggung jawab yang lebih besar. Dalam kasus ini, Google atau Facebook bukan hanya perusahaan teknologi.

Melalui bukunya, Dibyo mendorong media di Indonesia untuk duduk bersama platform digital mendiskusikan ini. Pada sisi lain, platform digital juga harus mengambil tanggung jawab lebih besar, khususnya dalam konteks jurnalisme, ruang publik, dan media yang bermartabat.

Dalam beberapa pekan ke depan, Presiden Joko Widodo direncanakan akan mengeluarkan Peraturan Presiden, terkait hak penerbit atau publisher right.

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Usman Kansong, menyebut pemerintah menyadari kondisi yang dipaparkan Agus Sudibyo.

“Sejak Hari Pers Nasional 2020, Presiden Jokowi sudah menyampaikan komitmennya untuk menjaga media sustainability dan “menantang” komunitas pers, Dewan Pers untuk menyusun sendiri publisher right, menyusun sendiri regulasinya, tanpa dicampurtangani oleh pemerintah,” kata Usman.

Bukan hanya Indonesia, sejumlah negara juga terus mencari format hubungan industri media konvensional dan platform digital. Seeprti di Australia, Inggris, Jerman, dan Portugal misalnya adalah negara-negara yang mengeluarkan aturan sejenis. Fakta ini membuktikan bahwa industri media dalam negeri dapat bernegosiasi dengan platform digital dunia yang telah menjadi kekuatan raksasa. (VOA)