Sangihe, Liputan15.com – Kabupaten Kepulauan Sangihe kembali menjadi magnet bagi wisatawan mancanegara pecinta burung. Setelah kedatangan wisatawan asal Inggris, Belanda, Amerika Serikat, dan Prancis pekan lalu, kali ini tiga wisatawan asal Malaysia yang tergabung dalam komunitas Pitta Chase hadir untuk berburu foto satwa endemik.

Ketua rombongan, Apiq Sulaiman, mengungkapkan bahwa terdapat 52 jenis burung pitta di dunia, dengan sekitar 30 jenis berada di Indonesia. “Kami lebih senang disebut bird photographer dibanding sekadar pengamat burung. Tujuan utama kami adalah mengoleksi foto berbagai spesies pitta dari seluruh dunia. Saat ini saya sudah memotret 26 dari 52 spesies pitta,” jelas Apiq.

Dalam diskusi bersama Asisten I Setda Sangihe, Johanis Pilat, Apiq mengaku kagum dengan potensi wisata minat khusus di Sangihe, khususnya avitourism. Ia bahkan menilai kekayaan hayati Sangihe mampu menyaingi Cagar Alam Tangkoko di Bitung.

“Bayangkan, pulau sekecil ini punya 10 spesies burung endemik, ditambah satwa lain seperti tarsius, kuskus, katak, hingga kupu-kupu. Menemukan burung di sini juga sangat mudah. Di Mess Burung Indonesia misalnya, kurang dari lima menit kami sudah melihat burung hantu,” ujarnya.

Selain itu, ia menilai fasilitas pariwisata di Sangihe sudah cukup memadai, mulai dari hotel, kafe, hingga transportasi yang terjangkau. Hal ini membuat wisatawan merasa aman dan nyaman selama berkunjung.

Meski demikian, Apiq menyoroti masih adanya perburuan satwa endemik oleh warga. Saat mengunjungi Malebur, ia mendapati masyarakat yang berburu burung dengan senapan. “Perlu edukasi sejak dini di sekolah maupun masyarakat agar warga semakin peduli dan bangga terhadap satwa serta alam Sangihe,” tegasnya.

Dalam kunjungan singkat dua hari satu malam, rombongan wisatawan Malaysia ini berhasil mengabadikan empat spesies, yaitu Sangihe Pitta (Lehangi), Western Hooded Pitta (Kupaw), Sangihe Scops Owl (Tana Lawo), dan Sangihe Hanging Parrot (Lungsihe).

Saat ditanya soal kemungkinan kembali ke Sangihe, Apiq memastikan peluang itu sangat besar. “Berbeda dengan pengamat burung, fotografer selalu ingin memperbaiki hasil foto. Kalau sekarang kami punya foto burung pitta bertengger, lain kali kami ingin memotret saat terbang atau memberi makan anaknya. Bahkan kalau punya kamera baru, kami ingin lihat hasilnya di sini. Jadi besar kemungkinan Sangihe akan jadi spot rutin kami,” tutupnya.