LIPUTAN15.COM, BOLMUT – Rahmat Toliu (51), seorang petani asal Ollot, Kecamatan Bolangitang Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara menuturkan tantangan yang sedang dihadapi para petani sawah di wilayahnya saat ini.
Kekurangan air sempat menjadi kendala utama yang menghambat proses bercocok tanam kami para petani di Desa Ollot, Bolmut.
Tantangannya ini dia sampaikan karena adanya pekerjaan peningkatan dan rehabilitasi jaringan irigasi utama daerah Ollot di hulu.
“Yah beruntung ada hujan turun disaat pekerjaan itu dimulai, jadi sedikit membantu kami para petani untuk menampung air,” ungkapnya.
Sehingga dia berharap proyek pekerjaan saluran Daerah Irigasi (DI) Ollot yang sedang berlangsung tidak berjalan lamban.
“Perbaikan saluran irigasi memang tujuannya demi petani, tapi kami disini juga tidak ingin terus menerus bergantung dengan air hujan,” ceritanya di sawah, pagi tadi pukul 06.00 WITA.
Menurut Toliu, kami disini sudah puluhan tahun mengantungkan hidup dengan hasil padi.
“Sehingga jika terus bergantung dengan air hujan, pasti akan menyebabkan banyak lahan yang tidak dapat diolah secara optimal, dampaknya pasti meluas, termasuk menganggu produksi panen mendatang,” ungkapnya.
Hal serupa juga diungkapkan Harianto Mamonto (40), Ia menilai pekerjaan pembangunan DI Ollot yang dilaksanakan bersamaan dengan masa tanam ini berdampak langsung pada petani.
“Sejak pekerjaan ini dimulai, terjadi penutupan total pintu air yang akhirnya sempat mengambat jadwal musim tanam persawahan disini,” tambahnya.
Kata dia, kalau hujan hari ini tidak ada pasti kondisinya berbeda.
Dua petani diatas memiliki latar belakang berbeda, Rahmat selain memiliki lahan sawah juga biasanya mencari untung menanam sawah petani lain.
Hal itu dia lakukan untuk menambah penghasilan keluarga setiap hari.
Berbeda lagi dengan Anto__nama harian dari Harianto, dirinya mengantungkan hidup dengan mencari uang di sawah.
“Kalau masuk musim tanam atau panen, kita mengandalkan tenaga kita untuk disewa,” sebutnya.
Irawan Paputungan lulusan sarjana teknik Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar, Sulawesi Selatan yang tak lain pemanfaat dari DI Ollot juga ikut memberi pandangan, baginya setiap pekerjaan itu ada yang namanya mitigasi awal sebelum pekerjaan dimulai.
“Apalagi pekerjaan ini berhubungan dengan air, cuaca ekstrim, pasti agenda-agenda di depan biasanya sudah kita tahu, contohnya soal aliran air yang menjadi nadi dari persawahan,” bebernya.
“Harusnya masalah ini sudah tidak lagi menjadi kendala saat pekerjaan berjalan,” begitu ia memandang.
Menurut dia, kondisi yang dialami pak Rahmat dan Harianto juga pasti bukanlah kasus tunggal. Ratusan bahkan ribuan petani di Ollot berpotensi ikut merasakan dampak serupa akibat lambannya pekerjaan peningkatan dan rehabilitasi jaringan irigasi utama DI Ollot tersebut.
Catatan redaksi sebagaimana data hasil kajian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), sawah desa ollot – sonuo memiliki luasan 300 Ha dari total 590.44 Ha wilayah Kecamatan Bolangitang Barat.
Dengan luasan demikian, kondisi ini jika dibiarkan tentu dikhawatirkan akan menganggu produksi pertanian di masa mendatang.
Apalagi, pekerjaan tersebut berdasarkan hasil penelusuran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerak Sulawesi Utara kuliatas dari pekerjaan nasional itu diragukan.
Menurut ketua LSM Gerak Sulut, Sahrul Pahata, terdapat indikasi pekerjaan tersebut tidak dikerjakan sesuai spesifikasi teknis.
Metode ini, lanjut Sahrul, tidak dapat dibenarkan secara teknis dan berpotensi melemahkan struktur bangunan sejak awal.
“Pola pekerjaan seperti ini patut diduga sebagai upaya menutupi kekeliruan teknis, yang secara langsung mengorbankan mutu, kekuatan, dan umur teknis bangunan irigasi,” tegasnya, beberapa hari lalu.
Sebagaimana diketahui, pekerjaan fisik di lapangan telah disubkontrakkan kepada pihak lain, sementara PT Hutama Karya (Persero) menjadi kontraktor utama.
Berdasarkan papan informasi yang terpampang juga menunjukan pekerjaan ini dibandrol senilai Rp40,597,308,623 miliar dengan sumber dana mengunakan APBN lewat Balai Wilayah Sungai Sulawesi I Manado.
Rp40 miliar itu diketahui mencakup pekerjaan di 28 daerah irigasi yang tersebar di wilayah Minahasa dan Bolaang Mongondow Raya (BMR).
Waktu pelaksana pekerjaan ini selama 57 hari kalender, dimulai sejak 5 November 2025 kemarin.
Hasil penelusuran liputan15.com dilokasi, Rabu, 17 Desember 2025, pekerjaan tersebut terpantau berjalan terpontang panting.
Hanya ada tiga pekerja yang berada di lapangan.
“Kami sudah tekankan ke Subkontraktor, agar sebisa mungkin menambah tenaga untuk mengejar waktu yang tersisa,” singkat pihak Hutama Karya (HK) Taufik Mantali dilapangan.
Nvg

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan