Praktik penyelenggaraan negara yang beda dengan apa yang diatur dalam konstitusi itu dalam sejarah ketatanegaraan kita, hanya dilakukan dengan pengumuman Pemerintah, yakni Maklumat Wakil Presiden No X tanggal 16 Oktober 45. Arsitek perubahan itu adalah Sutan Sjahrir. Pertimbangannya adalah, menurut Sjahrir, Sukarno-Hatta adalah “kolaborator Jepang” yang sulit untuk diterima kehadirannya oleh Sekutu, dan juga Belanda. Kita harus berunding dan berdiplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan, karena perlawanan bersenjata, menurut perhitungan Sjahrir, tidak cukup kuat untuk mengalahkan Belanda.
Dengan Maklumat Nomor X itu sistem presidensial berubah menjadi parlementer. Sukarno Hatta hanya berkedudukan sebagai Kepala Negara dan Wakilnya, sementara kekuasaan pemerintahan ada ditangan Perdana Menteri yang dijabat Sjahrir. KNIP yang semula hanya lembaga yang membantu Presiden, berubah menjadi parlemen tempat Perdana Menteri bertanggung jawab. Perubahan dalam praktik itu, menurut Prof Dr Ismail Suny terjadi karena konvensi ketatanegaraan yang dalam praktik diterima, tanpa ada yang menentang.
Akibat situasi perang kemerdekaan, Pemilu pertama yang direncanakan akan dilaksanakan tanggal 1 Februari 1946 untuk membentuk DPR dan MPR, menetapkan UUD tetap dan memilih Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat dilaksanakan. UUD 45 yang menurut ketentuan dua ayat dalam Aturan Tambahan hanya akan berlaku selama dua kali enam bulan, akhirnya berlaku terus sampai digantikan dengan Konstitusi RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Semua itu terjadi melalui konvensi ketatanegaraan. Teks UUD 45nya sepatah kata pun tidak diubah, tetapi praktik penyelenggaraan negaranya sudah berbeda jauh dengan apa yang secara normatif diatur di dalam UUD tersebut. Namun praktik itu diterima tanpa banyak masalah. Seperti telah saya telah saya katakan, tidak ada pihak yang membawa masalah itu ke pengadilan untuk menilai apakah tindakan yang menyimpang dari UUD 45 itu sah atau tidak.
Sekarang zaman sudah berubah. Rakyat sudah lebih paham bagaimana penyelenggaraan negara dibanding zaman revolusi tahun 1945-1949. Ahli-ahli tambah banyak. Ada media sosial yang membuka peluang bagi siapa saja untuk mengkritik, ada Mahkamah Konstitusi yang bisa menguji undang-undang dan mengadili sengketa kewenangan antar lembaga negara. Konvensi ketatanegaraan tentang penundaan Pemilu sulit diciptakan, apalagi orang awam dengan mudah akan menganggap ada “penyelewengan” terhadap UUD 45. Presiden Jokowi tentu tidak dalam posisi untuk dapat menciptakan konvensi ketatanegaraan sebagaimana digagas Sjahrir dan dilaksanakan Wapres Mohammad Hatta tahun 1945 itu.
*****
Hari ini 26 Februari 2022 saya menyimak statement Sekjen PDIP Hasto Kristianto yang mengatakan usulan penundaan pemilu itu tidak punya dasar hukum yang kuat. Hal itu benar adanya. Apakah Pemilu akan tetap dilaksanakan sesuai jadwal tanggal 14 Februari 2024?
Sekiranya memang mungkin dilaksanakan, tentu harus dilakukan penyederhanaan terkait penyelenggaraannya. Biayanya harus diperkecil mengingat sedang sulitnya keuangan negara kita, demikian pula mekanisme atau prosedur pelaksanaannya yang juga harus disederhanakan. KPU sebenarnya dapat belajar dengan COMELEC (Commission on Elections of the Philippine) yang berhasil menyelenggarakan Pemilu secara digital dengan biaya yang lebih murah. Kalau sekiranya tahun 2024 masih ada pandemi covid 19, maka pemilu digital juga mengurangi risiko warga dapat terpapar virus covid 19 secara masif.
Kalau Pemilu memang harus ditunda karena alasan ekonomi dan pandemi, maka saya telah memberikan tiga jalan untuk mengatasinya. Jalan yang paling mungkin seperti telah saya bahas adalah amandemen terhadap Pasal 22E UUD 45. Kalau itu dilakukan, maka keraguan Sekjen PDIP mengenai dasar hukum penundaan pemilubmenjadi lebih jelas dan lebih kokoh.
Demikian pandangan saya.
Jakarta, 26 Februari 2022.


Tinggalkan Balasan