Dirinya mencontohkan modus penggalangan dana melalui kotak amal, guna menarik simpati dan dukungan masyarakat dengan dalih aksi sosial kemanusiaan pada satu isu.
“Misal contoh, kita hadir dalam suatu acara kelas, atau disebut sebagai pengajian, lalu mereka menyebarkan kotak-kotak amal, dan apakah kita tahu bahwa ternyata kota amal itu digunakan untuk mendanai kelompok mereka. Apalagi kemudian polisi mengungkap, diantara anggota JI yang ditangkap, menyebut atau menjelaskan salah satu sumber dana mereka adalah kotak amal yang disebarkan di restoran, di Mushola, di Masjid, dan kemudian itu dipakai untuk kegiatan dan gerakan mereka,” papar Nasir Abas.

Diwawancarai secara terpisah, guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (Uinsa) Surabaya, Ahmad Zainul Hamdi menyoroti kelompok pengajian eksklusif dan sikap atau pernyataan yang bernuansa intoleran terhadap kelompok atau agama lain.
Ia mengatakan kelompok eksklusif dan intoleran, terlebih yang sangat populer, kerap menjadi pintu masuk bagi rekrutmen dan penyebaran paham radikalisme maupun terorisme.
“Yang harus diwaspadai, dipertegas sejak awal, itu adalah keterlibatan orang-orang dalam kelompok-kelompok pengajian, yang itu mengajarkan cara keagamaan yang eksklusif, yang intoleran. Karena beberapa kelompok termasuk kelompok-kelompok yang terlibat jaringan terorisme, memulai masuknya lewat ini. Sekali pun tidak semua pengajian yang eksklusif dan intoleran pasti berujung ke terorisme ya, tapi pengajian kelompok-kelompok terorisme yang itu masuk melalui pengajian-pengajian, itu pasti adalah pengajian-pengajian yang eksklusif dan intoleran ajaran-ajarannya,” ujarnya.
Sementara Nasir Abas menyerukan kewaspadaan masuknya paham radikalisme dan terorisme di kalangan pemerintah dan aparat keamanan. Tanpa mengesampingkan urgensi kebebasan berpendapat dan berbicara, ia mengajak publik mewaspadai tokoh atau pemengaruh yang senantiasa berbicara keras mendorong perubahan sistem atau bahkan melawan pemerintah. (VOA)
Tinggalkan Balasan