Kedua, sambung Kandouw, adalah toxic people, survei membuktikan di antara 100 orang di Indonesia pada 10 tahun lalu, terdapat 5 orang aneh-aneh. Sekarang dari 100 orang 7 yang aneh-aneh. Survei juga membuktikan 10 tahun lalu, dari 100 ada 4 orang yang berpikiran negatif. Sekarang di antara 100 orang, ada 8 orang yang berpikir negatif yang istilahnya toxic atau racun di dalam masyarakat.

“Orang-orang ini selalu berpikir negatif tidak boleh melihat keberhasilan orang, iri dan dengki. Kalau sekarang orang toxic ini bisa memuat pendapatnya di medsos. Toxic people ini ada 8 orang di antara 100 orang. Untuk itu, mari toramg sama-sama atasi ini. Ibu-ibu harus bereran,” tandasnya.

Ketiga, jelas Kandouw adalah masalah inflasi. Di mana benang merahnya dengan kemiskinan. Tercatat, standar upah di Sulut terdapat 3,4 juta. “Bayangkan dari jumlah tersebut 500 ribu, 10 persen lebih habis untuk rokok. Ibu-ibu juga harus mampu mengingatkan suami dan anak-anak tidak usah merokok. Karena ini meningkatkan inflasi kita,” imbaunya.

Terkait inflasi Sulut yang dipicu rica atau cabai, Kandouw mengingatkan untuk melaksanakan program Marijo Bakobong.

“Kalau rica naik pasti inflasi naik. Karena fakta membuktilan dari 3,4 juta pendapatan masyarakat Sulut, kadang-kadang 600 ribu habis untuk beli rica, itu hampir 20 persen. Kenapa tidak tanam sendiri. Pak Gubernur ingatkan Marijo Bakobong, termasuk konsumsi beras kita,” katanya sembari menambahkan di Kabupaten Sangihe sudah dicanangkan hari tanpa beras.

“Hari Jumat tidak makan beras, karena beras juga penyumbang inflasi dan penyumbang tingkat kesehatan karena indeks glikemiknya tinggi mari sama sama lakukan hari tanpa masi untuk jaga kesehatan,” sebutnya.

Di akhir kata, ia mengatakan agar W/KI GMIM menjadi seperti Ester, salah satu tokoh Alkitab yang telah menempatkan mahkota bagi suami dan penyelamat bagi bangsanya.

“W/KI jadilah mahkota dan penyelamat bagi bangsa. Jadilah pelita dan garam bagi keluarga, gereja dan negara,” pungkasnya.