LIPUTAN15.COM,MANADO—Komisi III DPR RI melontarkan kritik tajam terhadap Pengadilan Negeri (PN) Bitung terkait pencairan dana konsinyasi Rp53 miliar untuk lahan pembangunan gerbang tol Bitung. Keputusan pencairan yang dilakukan PN Bitung pada 24 Desember 2024 dinilai janggal dan berpotensi melanggar hukum.

Pasalnya, pencairan itu dilakukan dengan mengacu pada Perma No. 2 Tahun 2021, padahal sejak 8 November 2024 telah berlaku Perma No. 2 Tahun 2024. Aturan baru tersebut secara tegas melarang pencairan dana konsinyasi apabila objek tanah masih dalam perkara atau belum inkracht.

“Ini harus diusut tuntas. Kenapa PN Bitung masih pakai Perma lama, sementara sudah ada Perma baru yang berlaku? Kalau aturan saja dilanggar, ini jelas fatal,” tegas Anggota Komisi III DPR RI, Martin Daniel Tumbelaka, dalam rapat kerja bersama mitra penegak hukum di Sulawesi Utara, Rabu (17/9/2025).

Politisi Fraksi Gerindra itu mendesak transparansi penuh dari aparat peradilan. Menurutnya, pencairan dana miliaran rupiah saat status lahan masih bersengketa hanya akan menimbulkan persoalan hukum baru.
“Jangan sampai Perma hanya jadi formalitas di atas kertas. Kalau pengadilan sendiri yang melanggarnya, bagaimana publik bisa percaya pada sistem hukum?” tegas Martin dalam rapat yang digelar di Mapolda Sulut.

Lebih lanjut, Martin menyoroti risiko besar yang bisa muncul jika putusan Mahkamah Agung kelak memenangkan pihak lain.

“Kalau nanti MA memenangkan ahli waris Cores Tampi Sompotan, bagaimana mekanisme pengembalian dana konsinyasi yang sudah dicairkan ke pihak Fien Sompotan? Jangan sampai publik yang akhirnya dirugikan,” katanya.

Sorotan ini membuat jajaran pengadilan terpojok. Kepala Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara, YM Amin Sutikno SH MH, yang hadir dalam rapat, mengaku belum bisa memberikan jawaban detail.

“Kita akan cek dulu ke Kepala PN Bitung, karena yang bersangkutan tidak hadir. Keterangan resmi akan kami sampaikan menyusul,” singkat Amin.

Kasus ini menjadi perhatian serius Komisi III DPR RI dan dipastikan akan terus dikawal. Mereka menegaskan tidak boleh ada praktik hukum yang menyimpang, apalagi menyangkut dana publik sebesar Rp53 miliar.