LIPUTAN15.COM–Kemampuan diplomasi Duta Besar RI untuk Filipina, Sinyo Harry Sarundajang (SHS) sudah teruji. Pemerintah RI mengklaim bahwa proses pembebasan tiga warga negara Indonesia sandera Abu Sayyaf di Filipina tanpa uang tebusan.

“Tidak ada uang tebusan. Saya kira saya paling tahu soal itu karena saya yang menjemput mereka langsung, tidak ada yang seperti itu,” kata Duta Besar RI untuk Filipina yang juga mantan Gubernur Provinsi Sulut SHS, dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (19/9). Seperti dilansir CNNIndonesia.com.

Menurut SHS, ketiadaan tebusan ini lah yang membuat proses pembebasan para WNI memakan waktu hingga 18 bulan. “Ini pula yang mungkin menjadi salah satu faktor kenapa proses pembebasan memakan waktu lama. Kami bersama pemerintah Filipina sangat berhati-hati dalam melakukan proses pembebasan ketiga WNI,” tuturnya.

Ketiga WNI tersebut bernama Hamdan Bin Salim, Subande Satto, dan Sudarlan Samansung. Para WNI ini adalah nelayan yang bekerja di kapal-kapal penangkap ikan Malaysia. Mereka diculik saat sedang menangkap ikan dengan kapal BN 838/4/F di Perairan Taganak, Sabah, pada 18 Januari 2017.

Mereka dibebaskan dari penyanderaan di Sulu, Filipina selatan, pada 15 September lalu sekitar pukul 14.00 waktu setempat dalam sebuah operasi militer angkatan bersejata Filipina.

SHS mengatakan, keadaan ketiga WNI tersebut sehat saat pertama kali diserahkan militer Filipina kepada dirinya. Berdasarkan kesaksian kepada Harry, para WNI tersebut tidak pernah ada kekerasan selama penyanderaan.

“Mereka bilang selama 20 bulan itu tidak mendapat perlakukan kekerasan. Mereka hanya disekap dan dibentak supaya mereka mendesak perusahaan yang mempekerjakan mereka untuk memberi tebusan,” tuturnya.

SHS menegaskan, selama ini pemerintah Filipina dan perusahaan kapal yang secara langsung melakukan negosiasi dengan penyandera.

Selain perkara tebusan, keamanan WNI juga menjadi perhatian karena Abu Sayyaf kerap berpindah tempat dari satu pulau ke pulau lain di Kepulauan Sulu demi mengamankan kelompoknya dari operasi militer Filipina.

“Maka dari itu militer harus berhati-hati karena kami juga mendesak bahwa proses pembebasan para sandera jangan sampai memakan korban jiwa. Meski Abu Sayyaf menculik demi tebusan, mereka juga dikenal tak segan mengorbankan para sanderanya,” kata Harry.

Berdasarkan data Kemlu RI, sejak 2017 lalu ada 34 WNI menjadi korban penculikan kelompok bersenjata di Filipina selatan. Sebanyak 13 di antarannya nelayan yang disekap di Perairan Sabah dan 11 orang sudah dibebaskan.

“Jadi saat ini masih tersisa dua WNI lagi yang menjadi sandera. Mereka diculik pada 11 September lalu. Kasus ini baru jadi kami masih melakukan pendalaman,” kata Iqbal.

Iqbal mengatakan, sejauh ini pihaknya belum mengetahui pihak penculik kedua WNI tersebut. Namun, ia mengatakan kemungkinan besar penyandera berasal dari kelompok bersenjata yang sama.

“Butuh waktu dua sampai tiga minggu biasanya sampai penyandera menghubungi perusahaan kapal yang mempekerjakan para sandera tersebut. Jadi kita masih menunggu itu,” pungkas Iqbal. (end)