Pemikiran hukum realisme memandang bahwa hukum bekerja tidak sebagaimana bunyi peraturan perundang-undangan, hukum itu merupakan manifestasi simbolik para pelaku sosial.

“Pendekatan pemikiran ini adalah bersifat non doktrinal artinya bsrdasarkan penilaian atas prilaku masyarakat secara nyata,” kata Suparji dalam keterangan persnya.

“Selain itu, pemikiran realisme lebih mengutamakan kemanfaatan dari hukum. Karena memang hukum itu diadakan adalah demi kemanfaatan bersama masyarakat. keadilan restoratif (RJ) secara teoritis telah lama menjadi perbincangan para akademisi. Dan saat ini Jaksa Agung mencoba mengaplikasikannya,” sambungnya.

Ia memaparkan, penyelesaian perkara pidana melalui instrumen RJ ini adalah berbeda konsepnya dengan mekanisme penghentian penyidikan atau penuntutan seperti konsep yang diatur KUHAP. Penerapan RJ lebih ke perkara pidana yang secara hukum positif (legisme/positivisme) telah lengkap dilakukan persidangan pidana dimana akan diambil keputusan oleh hakim.

“Artinya berkas perkara pidana itu lengkap, baik formil maupun materiil. Namun oleh Jaksa selaku pemegang kekuasaan negara di bidang penuntutan berdasar asas dominis litis dan asas oportunitas yang dimiliki Jaksa, maka perkara tesebut dihentikan penuntutannya karena lebih pada untuk pencapaian keadilan substantif dan kemanfaatan. Keputusan RJ itulah cermin dari suatu kepastian hukum,” paparnya.

Secara teoritis, kata dia, RJ merupakan pelaksanaan tugas fungsi Jaksa yang dibenarkan atas asas-asas hukum universal yang berlaku secara internasional. Sedangkan untuk penyidik bukanlah RJ sebagai instrumen penghentian perkara, akan tetapi menggunakan instrumen penghentian penghentian penyidikan seperti diatur KUHAP.