LIPUTAN15.COM-Efek invansi Rusia ke Ukraina dan sanksi ekonomi yang diberikan negara barat, membuat Rusia diprediksi tidak akan mampu membayar utang USD2,2 miliar atau setara Rp31,4 triliun yang jatuh tempo pada 4 April 2022.

Meski pada pekan lalu Rusia mampu membayar bunga USD117 juta atas utang luar negerinya, namun kali ini kreditur tidak yakin Rusia mampu membayar utang Rp31,4 triliun.

“Pembayaran terakhir adalah investasi kecil dalam kredibilitas, tetapi ketika Rusia harus mulai menulis cek miliaran dolar, itu adalah perhitungan yang berbeda,” kata former Elliott Management portfolio manager and author of Undermoney Jay Newman seperti dilansir New York Post, Jakarta, Selasa (29/3/2022).

Pembayaran obligasi minggu lalu membuat investor panik karena tidak jelas apakah bank sentral Rusia akan dapat menggunakan cadangan dolar AS untuk melakukan pembayaran.

Ada juga perselisihan tentang apakah Rusia dapat membayar utang dalam mata uangnya sendiri.

Namun, Kementerian Keuangan Rusia bersikeras negara dapat membayar dalam rubel tetapi orang-orang yang mengetahui kontrak tersebut mengatakan bahwa itu harus dibayar dalam dolar AS.

Untuk pembayaran utang sebelumnya sebesar D117 juta dan pembayaran yang akan datang sebesar D2,2 miliar, persyaratan mengharuskan Rusia untuk membayar dalam dolar AS.

Dengan masalah ini, para ahli memprediksi Rusia gagal bayar utang yang jatuh tempo pada 4 April 2022.

Para ahli ini memberi tahu The Post bahwa mereka tidak berpikir kemampuan dan kemauan Rusia untuk memenuhi kewajiban utang sebelumnya tidak berarti apa-apa jika menyangkut masa depan, terutama karena Rusia menghadapi hampir USD4,8 miliar pembayaran utang tahun ini.

Pada 4 April akan menjadi ujian besar pertama. “USD2 miliar adalah uang sungguhan,” Newman memperingatkan.

Di sisi lain, Kementerian Keuangan mengklarifikasi Rusia dapat menggunakan dana yang dibekukan untuk melakukan pembayaran utang hingga 25 Mei.

Setelah itu, negara tersebut kemungkinan perlu mengumpulkan uang dari sumber lain, meminjam uang tunai atau menjual minyak ke negara-negara seperti China atau India.