Pengamat sekaligus dosen jurnalistik-komunikasi di Universitas Atmajaya Yogyakarta, Dr Lukas Ispandriarno, mengaku ancaman kekerasan masih terus terjadi kepada pers Indonesia pasca-reformasi.

Di sisi lain, dia mengingatkan bahwa ancaman nyata bagi kebebasan atau kemerdekaan pers saat ini adalah apa yang disebut sebagai native advertising.
“Sebenarnya itu kan iklan bersponsor, konten bersponsor, atau kalau dulu kita di kelas mengenalnya dengan advertorial. Cuma, dari pengamatan itu kemudian tidak jelas, apakah ini berita bersponsor atau berita beneran,” kata Lukas.
Dewan Pers telah melakukan survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) pada 2021 lalu, dengan hasil skor 76,02. Angka itu menandakan bahwa pers Indonesia termasuk dalam kategori cukup bebas.
Survei ini menetapkan rentang nilai cukup bebas pada kisaran 70-89. Untuk masuk ke dalam kelompok pers yang bebas, skor yang dicapai harus masuk dalam rentang 90-100.
Dewan Pers juga memasukkan pandemi COVID-19 sebagai salah satu ancaman bagi kebebasan pers.
Sumber : VOA
Tinggalkan Balasan