Sangihe – Penerapan kebijakan penggunaan barcode sebagai syarat kelayakan pengisian BBM bersubsidi di SPBU Kabupaten Kepulauan Sangihe mengalami kendala. Sejumlah pemilik kendaraan roda empat (R4) mengaku tidak dapat mengurus atau membuat barcode karena ditolak oleh sistem aplikasi MyPertamina, meskipun data kendaraan mereka terdaftar di daftar Korlantas Polri.
Keluhan serupa juga disampaikan para sopir mikrolet yang beroperasi di pusat Kota Tahuna. Mereka mengalami kesulitan dalam memperoleh BBM bersubsidi karena tidak memiliki barcode. Akibatnya, mereka hanya mendapat jatah 10 liter per hari dari SPBU, yang dinilai sangat merugikan karena berpengaruh pada jam operasional mereka.
Masalah ini menjadi perhatian serius dalam hearing di ruang sidang DPRD Kabupaten Kepulauan Sangihe. Salah satu perwakilan sopir, Jonex Karel, mempertanyakan berkurangnya kuota BBM di beberapa aplikasi meskipun pengguna tidak melakukan pengisian BBM.
Selain itu, Karel juga menyoroti ketidakadilan dalam kebijakan ini. Menurutnya, nelayan masih dapat mengisi BBM dalam jumlah besar tanpa barcode, sementara sopir angkot diwajibkan menggunakan barcode tetapi sulit mendapatkannya.
“Kami mendukung aturan pemerintah terkait penggunaan barcode, tetapi penerapannya harus adil dan berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali,” tegas Karel.
Ia meminta agar sopir angkutan umum diberikan jatah 30 liter BBM per sekali isi tanpa barcode serta meminta Pertamina dan Pemerintah Daerah mencari solusi agar sopir mikrolet bisa mendapatkan barcode dengan mudah.
Permasalahan ini menjadi perhatian berbagai pihak, dan masyarakat berharap ada solusi cepat agar kebijakan ini dapat diterapkan dengan lebih baik tanpa merugikan pihak tertentu.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan